RSS

Penyalahgunaan di Sektor Kelautan

Laut merupakan wilayah Indonesia yang paling mendominasi. Namun sayangnya banyak oknum yang salah gunakan kekayaan Indonesia tersebut dengan mengeksploitasi sumber daya laut secara tidak bertanggung jawab. Mereka menggunakan bahan-bahan kimia dan peledak untuk meraup ikan yang banyak. Tentu saja hal ini merusak ekosistem dan biota laut yang merupakan kekayaan alam Indonesia yang seharusnya kita jaga kelangsungannya. Oleh karena itu, Departemen Kelautan dan Perikanan ( DKP ) mencanangkan suatu program COREMAP II, yang merupakan sebuah program guna menyelamatkan ekosistem terumbu karang di Indonesia.

Ekosistem itu selain dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari serangan abrasi juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan. Artinya, jika kita dapat melestarikan terumbu karang, maka ikan akan berlimpah di kawasan tersebut. Proyek COREMAP II ini mendapatkan pembiayaan dari kucuran utang luar negeri Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Bahkan kedua lembaga bisnis bantuan internasional itu telah membagi-bagi lokasi proyeknya di Indonesia. ADB mendapat jatah untuk membiayai proyek di Tapanuli Tengah, Nias, Mentawai, Bintan, Natuna, Batam dan Lingga. Sementara itu, Bank Dunia mendapat jatah untuk membiayai proyek di Biak, Raja Ampat, Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, dan Sikka.

Sekilas tidak ada masalah dalam proyek utang di sektor kelautan ini. Namun jika kita mencoba menoleh ke belakang, akan terlihat bahwa kedua lembaga bisnis bantuan itu ternyata memiliki track record yang tidak begitu bagus terkait dengan proyeknya di sektor kelautan. Catatan Down The Earth yang dipublikasikan pada 2003 menyebutkan bahwa proyek ADB dan Bank Dunia pada 1983 dan 1984 di sektor kalautan telah memicu pengembangan wilayah pertambakan udang intensif atau semi-intensif secara besar-besaran di Indonesia.

Proyek itu telah menimbulkan alih fungsi hutan bakau menjadi kawasan pertambakan secara masif. Sampai 1998, wilayah pertambakan tersebut telah mencakup sekitar 305.000 hektare. Celakanya, pemerintah pada waktu itu mengatakan bahwa sekitar 860.000 hektare hutan bakau masih tersedia untuk dialihfungsikan menjadi tambak udang. Padahal terumbu karang, hutan bakau selain berfungsi melindungi pantai dari abrasi juga merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis ikan. Kehancuran hutan bakau tersebut selain mengakibatkan pemiskinan nelayan juga menjadikan kawasan pesisir Indonesia semakin rentan terhadap berbagai macam bencana ekologi.
Catatan Coordinating Committee of ASIA (Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture) Riza Damanik menyebutkan bencana abrasi telah terjadi di lebih dari 750 desa pada periode 1996 hingga 1999. Hingga 1999, sedikitnya 90% kawasan desa pesisir yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya terkena bencana banjir. Pulau Jawa, salah satu pulau yang menjadi fokus ekspansi industri pertambakan di Indonesia, mengalami peningkatan jumlah desa pesisir yang terkena banjir hingga empat kali lipat dalam periode 1996 hingga 2003, dengan jumlah 3.000 desa pesisir. Pada tahun 2006 saja, telah terjadi peningkatan anggaran di APBN dari Rp500 miliar menjadi Rp2,9 triliun untuk penanganan bencana di Indonesia. Hasil keuntungan yang diperoleh dari tambak udang pun tidak sebanding dengan biaya untuk mengatasi bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau.

Ironisnya, kedua lembaga bisnis bantuan itu seperti lepas tangan untuk membiayai dampak sosial dari bencana ekologi yang dipicu oleh proyek perluasan tambak itu. Lagi-lagi Pemerintah Indonesia yang telah terjebak proyek utang tersebut justru harus membayar kerugiannya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu ungkapan yang tepat bagi negeri yang telah terjebak proyek utang seperti Indonesia ini. Kenapa tidak, selain harus menanggung biaya untuk penanggulangan bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau, Pemerintah Indonesia tetap berkewajiban membayar utang kepada kedua lembaga bisnis bantuan tersebut.

Tampaknya proyek yang sarat ketidakadilan itu tidak pernah dipersoalkan lagi oleh ADB dan Bank Dunia. Buktinya, tanpa merasa bersalah, keduanya kembali mengucurkan proyek utangnya di sektor kelautan. Jika dulu proyek utangnya mengatasnamakan pengembangan tambak, kali ini mengatasnamakan perlindungan ekosistem terumbu karang. Seharusnya sisi kelam proyek ADB dan Bank Dunia di sektor kelautan itu dijadikan pelajaran berharga untuk lebih waspada menerima kucuran proyek utang baru. Setidaknya kedua lembaga bisnis bantuan itu harus dimintai pertanggungjawaban terlebih dahulu atas proyek utangnya di sektor kelautan pada era 1980-an sebelum mereka kembali mengucurkan proyek utang barunya ke Indonesia.

Begitulah Indonesia, proyek COREMAP II selain membuat negeri ini terlena sehingga tak mempersoalkan lagi sisi kelam proyek utang kedua lembaga bisnis bantuan itu pada masa lalu juga telah melupakan bahwa proyek utang baru tersebut berpotensi membebani generasi mendatang. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi bila kita tidak terlalu lama mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: