RSS

REFLEKSI 9 MEI : UNI EROPA DAN KEBERHASILAN EKSISTENSI

Saat 60 tahun lalu Robert Schumann mendeklarasikan suatu gagasan tentang bersatunya Eropa, yang kemudian dijadikan hari lahir UE, ada berbagai kejadian yang, entah mengapa bersamaan, hal – hal itu bisa menggambarkan betapa UE beruntung tetap bertahan sebagai salah satu organisasi internasional, meski sifatnya regional. Bahkan menjadi kekuatan yang makin potensial sebagai ”polar” baru .

Pertama, adalah krisis Yunani. Awalnya, kita bisa memulai dari fakta bahwa Yunani terlihat kurang sukses dalam penyelenggaraan Olimpiade 2004. Kurang sukses disini adalah, bahwa sebagai negara yang cukup bertumpu pada pariwisata, tingkat kunjungan ke Yunani justru tetap turun selepas Olimpiade berlangsung. Peliknya, karena hal itu, Yunani seolah ”tidak balik modal” setelah melakukan perombakan infrastruktur besar – besaran (ditaksir senilai 20 miliar dollar) untuk Olimpiade.
Tapi, ”sindrom olimpiade” ini bukan hanya milik Yunani. Fakta ironis, bahwa sejak Olimpiade 1972 di Munich hingga Yunani 2004 (untuk China 2008, belum bisa dihitung secara pasti tingkat ”break even point” nya), hanya Munich dan Los Angeles (1984) yang tidak rugi. Artinya, saat Spanyol adakan Olimpiade (Barcelona 1992), sebetulnya juga rugi. Sejatinya, apa yang terjadi di Yunani, hanya ulangi kesulitan ekonomi yang pernah dialami Spanyol pasca Barcelona 1992.

Menurut Copenhagen Criteria terkait standar ekonomi yang harus dicapai tiap anggota UE, Spanyol bahkan (hampir) mengajukan pengunduran diri sementara keanggotaan UE mereka saat itu, karena defisit besar – besaran, dan hutang luar negeri banyak yang jatuh tempo, sebagai suatu tipikal beban keuangan suatu negara yang kadang mempengaruhi kestabilan ekonomi ”tetangga” . Tapi, mengapa Spanyol sukses keluar dari jerat defisit (meski sejak tahun 2008, perekonomian Spanyol mulai turun drastis), dan Yunani saat ini justru semakin kolaps. Salah satu penyebabnya, adalah kekuatan perbankan Spanyol yang cukup besar. Bank seperti Banco Santander, terbantu dengan tingkat tabungan warga Spanyol yang cukup besar di bank itu, mampu menjaga arus moneter Spanyol saat itu meski disaat pemerintah alami defisit.

Hal ini yang tidak dimiliki Yunani. Perbankan setempat cenderung kecil kapitalisasinya, sementara saat proyek pendanaan konstruksi Olimpiade sebagian dibebakan pada anggaran bank setempat, ternyata banyak yang harus alami penjadwalan. Beban itu kemudian terus ditumpuk. Disinilah ECB sebagai salah satu perangkat UE, menyayangkan sikap pemerintah Yunani yang tidak antisipatif dimana berbagai perbankan setempat hadirkan neraca keuangan palsu untuk tutupi kesulitan pendanaan, dan berujung pada kolapsnya perekonomian Yunani sejak 2009. Andai ECB tahu lebih awal, tentu kesulitan finansial yang begitu parah di Yunani, tidak terlalu rumit penyelesaiannya.

Kasus perbankan ini hadirkan kritik atas gagalnya salah satu fungsi organisasi internasional (OI) yaitu fungsi kontrol agar tiap anggota tidak lagi menerima info yang asimetris dari anggota lain. Saat Yunani terbukti menyimpan problem keuangan, hal ini bukan hanya terkait ketidakjujuran informasi, tapi juga terkesan hadirkan kembli kesenjangan antara ”core” dan ”peripheri” di UE. Alasan ini yang sering diajukan ECB untuk terus menunda peminjaman ke Yunani, sebelum pemerintah Yunani benar – benar berkomitmen untuk tidak hanya menekan anggaran, tapi membangun ulang regulasi perbankan. Serta agar Yunani juga membuktikan lebih dulu komitmen penghematan anggaran besar – besaran.

Tapi nyatanya, UE bertahan hingga kini, sehingga pada salah satu asumsi lain bertahannya suatu OI, adalah dimana tiap anggota mendapat keuntungan dan kerugian relatif yang masih bisa diterima sebagai konsekuensi bergabung dengan suatu rezim OI . Sedikit mengulas dinamika liberalisme, hadir semacam kegamangan dalam penekanan ketiadaan atau kurangnya aturan jelas dalam menjaga keberlangsungan prinsi – prinsip liberalisme sendiri, yang pada dasarnya kembali mempertanyakan komitmen tiap pihak terhadap kerjasama atau rezim yang diikuti .

Kemudian hadir Neoliberalisme Institusional (selanjutnya disebut NI) yang pada dasarnya merujuk kemampuan tiap pihak menerjemahkan upaya kelanjutan kerjasama yang telah terbangun, jika mengalami stagnasi misalnya. NI menawarkan perkuatan institusi sebagai cara menekan tiap negara peserta institusi, untuk benar – benar mematuhi aturan yang ada. Hal ini mendorong semacam perkuatan internal dari institusi yang telah ada, dan diterjemahkan bagaimana negara menyerahkan sebagain kedaulatannya pada suatu institusi sebagai kompensasi atas tindakan serupa negara lain, sehingga memicu kepatuhan norma.

Artinya ada mekanisme UE yang bisa diterima tiap anggota. Dalam kasus Yunani, mekanisme itu bisa diterima tiap pihak, sebagai tindakan tidak terlalu mengintervensi anggota (dalam hal ini Yunani), juga mendorong tiap anggota untuk lebih kontributif dan menaati aturan untuk menjaga kelangsungan rezim. Secara kebetulan, dalam periode Januari – Juni 2010, Spanyol menegang kendali sebagai kordinator, sehingga dengan pengalaman atas apa yang pernah dialami Spanyol 2 dekade lalu, membantu Spanyol untuk meyakinkan anggota UE lainnya untuk lebih berkomitmen membantu Yunani. Terlebih fakta dimana Lisbon treaty sepenuhnya telah diratifikasi, yang seharusnya memperbesar kohesivitas dan interdependensi tiap anggota UE dalam menghadapi berbagai isu, di tingkat lokal dan regional .

Hal ini terlihat saat negara yang selama ini dinilai “core” dalam Eurozone (anggota UE pemakai Euro) didesak untuk berperan lebih besar menginisiasi “bailout” untuk Yunani. Seperti Jerman dengan 22,3 Miliar Euro dalam 3 tahun (8,4 Miliar untuk tahun ini). Perancis dengan 16,8 Miliar (6,3 M), Italia 14,7 Miliar (5,5 M), Spanyol 9,8 Miliar (3,7 M), Belanda 4,7 Miliar (1,8), Belgia 2,9 Miliar (1,1 M). Sementara untuk negara yang selama ini sering dikatakan “peripheri” secara total menyumbang 9,4 Miliar (3,3 Miliar untuk tahun ini). Komposisi ini artinya selaras dengan tanggungjawab yang melekat pada keanggotaan UE. Saat negara utama seperti Jerman dan Perancis punya hak suara sangat banyak di Parlemen Eropa (relevan dengan jumlah penduduk), kedua negara juga melekat tanggungjawab yang lebih besar dibanding anngota lainnya terkait krisis Yunani.

Angka yang dinyatakan sebagai bailout ECB yaitu 80 Miliar Euro dalam 3 tahun, juga menepis isu bahwa yang akan dikeluarkan ECB mencapai 150 Miliar euro. Justru disinilah UE mampu menginisasi seberapa besar intervensi yang tepat. Maksudnya, sejatinya UE bisa saja membiarkan tiap anggota memberi sebesar mungkin bailout yang bisa diberikan. Tapi, UE membuktikan bahwa organisasional mereka akan selalu berusaha mendorong tiap anggotanya memenuhi aturan yang telah ditetapkan, dalam hal ini merujuk Copenhagen Criteria. Ini yang membuat eksistensi UE terjaga, karena proses penyerahan sebagian daulat negara anggota diimbangi hak dan kewajiban yang proposional , yang meskipun rumit (karena terkait jumlah penduduk, konstelasi di parlemen, transparansi informasi ke publik, kekuatan ekonomi, dan lainnya), hadirkan keuntungan (dan kerugian dalam beberapa hal) yang sifatnya relatif yang masih bisa diterima sebagai konsekuensi keanggotaan . Serta karenba citra yang ditampilkan UE sebagai rezim yang harmonis dan bersahabat, yang jauh dari kesan militeristik misa dibanding NATO .

Dalam kasus Yunani, UE kembali merujuk dibutuhkan ketaatan pada Copenhagen Criteria, yaitu menjaga keseimbangan ekonomi tiap anggota UE. Jadi, tiap anggota tidak bisa paksakan intervensi pada Yunani dengan besaran “sumbangan” yang diberikan, seperti yang kadang terjadi pada lembaga moneter seperti IMF atau WB, dimana saat suatu negara begitu banyak memberi pinjaman hutang melalui lembaga kreditor lantas seolah berhak mengatur – atur negara debitor yang mendapat pinjaman .
UE juga mampu menginisiasi solusi yang tepat terkait tingkat inflasi. Respek tiap anggota UE pada institusi UE itu sendiri, menghindarkan dari keadaan “adu besaran” bantuan untuk Yunani. Karena secara logis, jika terlalu banyak Euro beredar ditengah – tengah pasar uang Eropa, justru akan merugikan UE sendiri karena akan memicu inflasi sistemik dan devaluasi nilai Euro , yang tentu jauh dari cita – cita dalam Copenhagen Criteria. Inilah mengapa angka 80 Miliar Euro adalah angka yang tepat, dan momentumnya juga tepat jelang perayaan terbentuknya UE, untuk membuktikan kesolidan UE. Terutama keseimbangan Euro dan indikator ekonomi lainnya sebagai parameter terjaganya komitmen anggota .

Isu kedua yang hadir jelang perayaan UE yang bisa diangkat sebagai analisa memahami mengapa hingga kini UE masih bertahan sebagai suatu rezim, adalah Pemilu Inggris pada 8 Mei 2010. Setelah 13 tahun dipimpin Partai Buruh, meski masih dalam keadaan “Hung Parliament” karena Partai Konservatif (sering disebut Tory) yang dipimpin David Cameron memenangi pemilu tapi tidak mayoritas (kurang 21 kursi untuk syarat minimal mayoritas parlemen yaitu 305 dari kebutuhan 326 kursi), tapi hasil pemilu kali ini dinilai akan mengubah perpolitikan dalam dan luar negeri Inggris secara revolusioner.

Parameternya adalah kemungkinan besar masuknya Partai Demokrat Liberal (disebut Uninasionalis, dipimpin Nick Clegg, urutan ketiga dalam pemilu) untuk berkoalisi dengan Tory. Jika skenario ini benar terjadi dalam beberapa hari ke depan, akan hasilkan paduan unik kebijakan politik Inggris, terutama dalam hubungannya dengan UE. Disatu sisi, Tory sebetulnya tidak terlalu pro – Uni Eropa dibanding Partai Buruh. Bahkan saat dipimpin John Major (yang akhirnya kalah dengan Tony Blair dari Partai buruh) Tory seolah menetapkan kebijakan yang cenderung “Euro-sceptic” dalam hubungan Inggris – UE.

Ironisnya, selama Inggris dipimpin Partai buruh, kebijakan luar negeri Inggris justru sering berseberangan dengan mayoritas UE. Misal isu invasi Iraq, dimana anggota UE lebih banyak yang kontra invasi (utamanya Jerman dan Perancis, didukung Rusia), tapi Inggris justru pendukung utamanya, dan yang terjadi di Iraq kini adalah konflik yang seolah tiada ujung yang timbulkan dilema antara penarikan atau terus bertahan menghadapi gerilyawan . Sejak dukungan pada invasi Iraq, popularitas Inggris ditengah UE makin merosot . Inilah yang ingin diperbaiki dalam relasi Inggris – UE jika David mampu membentuk pemerintahan koalisi yang potensial dengan Nick Clegg (Demokrat Liberal), karena David (dan juga Nick Clegg) menyadari makin besanya pengaruh UE dalam isu – isu internasional.

Uniknya, terkait isu solusi dalam resesi global, David Cameron mengisyaratkan kemungkinan yang lebih besar bergabungnya Inggris dalam Eurozone (memakai mata uang euro). Hal ini karena David Cameron lebih sepakat pada isu regulasi yang harus dibenahi dalam sistem perbankan di seluruh eropa (tidak hanya UE) yang selalu ditekankan Angela Merkel atau Nicholas Sarkozy jika seluruh negara Eropa ingin lepas dari masalah resesi. Hal ini yang selalu “dimainkan” David untuk menekan posisi Gordon Brown yang cenderung gagal dalam mereformasi ulang regulasi perbankan Inggris karena dinilai masih terlalu berpihak pada pihak yang lebih kaya.

Maka wajar jika David cameron selama berkampanye selalu mengusung isu penerapan pajak yang lebih adil yang harus dibebankan pada kelompok masyarakat yang lebih kaya di Inggris sebagai (semacam) “subsidi silang” untuk mengurangi tekanan pajak bagi warga Inggris lainnya yang secara ekonomi lebih lemah. Dalam logika yang diajukan Tory, dengan memakai Euro, Bank of england dan segenap perangkat pebankan Inggris lainnya (HSBC, Standard Chartered, Barclays, Santander Bank) makin dipaksa membenahi regulasi fiskal dan moneter sesuai Copenhagen Criteria. Hal ini dilihat oleh David Cameron sebagai cara lain menekan tingginya tingkat transaksi derivatif dalam perbankan Inggris yang kemudian memperparah resesi yang harus dialami Inggris (seperti halnya AS) .

Lebih unik saat ideologi Tory yang selama ini dikenal “kurang menjiwai UE” tapi David Cameron cenderung pro – UE, disisi lain diperkuat figur Nick Clegg yang juga pro – UE. Jika transaksi politik antara Tory dengan Demokrat Liberal lancar, sangat besar kemungkinan bahwa Nick Clegg akan menempati posisi strategis Menteri Luar Negeri (mengganti David Miliband) sebagai bagian hasil koalisi.
Bagusnya, selama berkampanye agar Liberal Demokrat mendapat suara yng lebih besar, Nick Clegg juga sering mengkampanyekan (juga disampaikan saat 3 kali debat nasional) bahwa ada kebutuhan agar Inggris lebih kontributif di UE. Hal ini sejalan isu yang sering dibawa Nick Clegg yaitu desakan untuk mengubah kebijakan luar negeri Inggris yang selama ini terlalu melindungi Israel, agar Inggris bisa mencontoh dan mengintegrasikan kebijakan Inggris yang lebih adil dalam melihat pentingnya solusi 2 negara bagi palestina. Terlebih Nick Clegg gencar mengkritik dipakainya secara ilegal paspor Inggris oleh oknum (yang diduga Mossad) yang membunuh petinggi HAMAS di Dubai.

Wajar saat kemudian Ceko sebagai negara terakhir yang ratifikasi Lisbon Treaty, dan kemudian membangun ulang format kepemimpinan UE terkait jabatan struktural Presiden (yang kemudian terpilih Herman von Rompuy, Belgia) dan lini kebijakan internal dan eksternal UE, ada rencana besar untuk lebih mengintensifkan kekuatan UE dengan lebih mengintegrasikan Inggris dalam berbagai kebijakan vital. Sehingga kemudian terpilih Catherine Ashton (Inggris) selaku “Menteri Luar Negeri” UE.
Skenario yang ingin dijalankan Brussels, jika Inggris semakin membangun interdependensi dengan UE, utamanya pada isu euro, hal ini tidak hanya memicu Denmark dan Norwegia ikut dalam Eurozone. Tetapi juga mendorong negara Eropa potensial lainnya untuk ikut bergabung dalam UE, seperti Swiss misalnya. Dengan bersatunya konsolidasi Eurokontinen (simbol koalisi Jerman – Perancis dalam UE) dengan atlantik (Inggris), tentu akan memperbesar pengaruh UE di berbagai bidang secara internasional.

Ini yang kemudian memicu UE untuk terus memperluas efektivitas peran media di tiap negara UE agar pasca Lisbon Treaty terus diinisasi animo tiap warga negara anggota UE untuk menyadari makin pentingnya asas kebersamaan dalam UE. Memang dalam beberapa indikator, misal pemilu Eropa (2009) terjadi penurunan partisipasi pemilih dalam menentukan siapa yang duduk dalam parlemen eropa. Tapi bisa saja animo berubah menjadi lebih positif saat Lisbon treaty telah efektif menjadi dasar kegiatan UE, yang selama bertahun – tahun tertunda oleh referendum (misal Belanda dan Perancis, 2005).

Makin banyak dipakainya Euro dalam UE, juga akan berdampak makin besarnya pengaruh Euro untuk potensial menggantikan dolar sebagai acuan valas internasional yang telah diprediksi sejak hadir sebagai mata uang tungal . Saat kebijakan pertahana keamanan Inggris lebih cenderung memihak UE (dibanding Tony Blair yang memihak AS, sehingga Blair gagal menjadi Presiden UE karena terlanjur bercitra buruk), akan hadirkan kemandirian sikap UE dalam berbagai isu internasional yang sangat sensitif yang telah diramalkan sejak lama sebagai contoh keberhasilan supranasional atas kepatuhan aturan yang diinisiasi . Entah terkait perisai rudal di dataran Eropa, isu Iran, hingga isu Palestina .

Salah satu parameter lain menganalisa tingkat eksistensi / bertahannya suatu rezim internasional, adalah bagaimana ketundukan tiap anggotanya pada suatu norma yang telah ditetapkan. Inggris yang selama ini mengmabng secara keanggotaan (seperti Denmark dan Norwegia, terkait isu Euro), potensial dalam konstelasi perpolitikan terbaru pasca pemilu akan hadirkan kebijakan luar negeri yang lebih mendekatkan pada kepentingan kolektif UE. Terlebih sebagai negara yang sangat besar di Eropa (meski bukan inisiator UE), posisi Inggris yang makin strategis bagi UE jika lebih berkonsolidasi dengan UE (jika benar – benar dipimpin koalisi Tory – Demokrat Liberal), akan membantu mengimbangi peran AS yang selama ini masih berusaha mendominasi UE.

Keseimbangan yang lebih baik pada relasi UE – AS yang akan menjadi perhatian utama dalam beberapa hari kedepan saat pemimpin tertinggi berbagai negara UE (akan juga dihadiri pemimpin baru Inggris yang akan diketahui beberapa hari ke depan) bertemu Barrack Obama di Praha bulan ini. Berbagai isu vital pasti akan dibicarakan, terlebih Obama sebelumnya telah bertemu dengan Dmitry Medvedev terkait masa depan kestabilan Eropa secara keseluruhan. Dengan menyadari makin kuatnya UE secara organisasional, tentu Obama tidak akan mengeluarkan “unilateralisme” yang dipakai Bush Jr dimasa pemerintahan AS sebelumnya . Dengan lebih harmonis dan berbagi peran vital di tingkat internasional, AS dan sebetulnya berbagai pihak lainnya sadar bahwa UE mampu terus meningkatkan pengaruhnya .

Saat hadir kritik terkait terus gagalnya reformasi di PBB, melemahnya peran APEC, serta masih belum jelasnya konsepsi 3 Pilar dalam ASEAN Charter, UE dengan berbagai dinamikanya yang terus memperbaiki kohesivitas organisasionalnya (misal Lisbon treaty) adalah pengecualian terkait eksitensi rezim internasional lainnya yang telah berumur puluhan tahun. Isu Yunani dan Inggris tadi relevan untuk menjelaskan, bahwa kedepannya UE akan terus solid secara kelembagaan, dan memperbesar pengruh dalam interaksi dengan publik internasional di berbagai bidang .

(pradageist)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: