RSS

Kebijakan “Opening Up The West” China

Implementasi reformasi ekonomi sejak 1979 membawa implikasi yang cukup besar bagi kemajuan sosial dan ekonomi di wilayah Barat. Strategi pembangungan China memang lebih mengedepankan bagian Timur terlebih dahulu, barulah melebar ke bagian Barat. Pada masa reformasi ekonomi, bagian Barat difokuskan untuk ”tingkat kesejahteraan menengah” (xiaokang) hingga tahun 1999, Jiang Zemin mengumumkan pembangungan China skala besar memprioritaskan daerah Barat. Setelah setahun program tersebut, bagian Barat tetap terpisah dalam peningkatan ekonomi dengan daerah Timur. Hal ini disebabkan karena peningkatan populasi penduduk lebih besar daripada peningkatan tingkat perekonomian.

Selanjutnya, diumumkanlah strategi “Open up the West” pada Maret 2000 yang memiliki fokus pada lima area, yaitu pembangunan infrastruktur, formasi kapital sumber daya manusia, perlindungan lingkungan, peningkatan investasi regional serta pembangunan dan restrukturisaasi industri lokal yang berbasis kepada sumber daya alam. Peningkatan infrastruktur yang penting, salah satunya membangun jalur rel kereta api (Qinzang railways) yang menghubungkan Guiyang dan Guangxhou, Lanzhou dan Chongqing (proyek Chongqing Metro), Kashgar dan Hotan di Xinjiang. Membangun jalan layang antara Wanyuan dan Dazhou di provinsi Sichuan, Shuikou serta Duyun di provinsi Guizhou, serta proyek untuk ekpansi pelabuhan udara di Chengdu, Chongqing dan Xi’an. Masalah perlindungan lingkungan juga penting, misalnya dengan reboisasi untuk melawan kekeringan yang terjadi di wilayah Dalam Mongolia dan Ningxia serta perbaikan hutan melalui pengembalian tanah pertanian menjadi hutan.

Implementasi kebijakan “Go West” tidak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya, antara tahun 2000 dan 2004, GDP wilayah Barat China meningkat hingga 10% dan 60 proyek yang meliputi proyek di bidang transportasi, ekologi, energi diumumkan oleh pemerintahan China. Namun, laporan April 2005 menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan di wilayah Barat China banyak kesulitan dan permasalahan. Banyaknya permasalahan tersebut berawal dari faktor geografis, sejarah dan hambatan institusional yang membuat wilayah ini tertinggal dari segi ekonomi dan pembangunan sosial. Ketidakseimbangan fisik infrastruktur (jalan, telekomunikasi, pembangkit energi listrik, suplai air) serta erosi tanah yang menghambat kebijakan tersebut. Perbedaan yang paling mencolok adalah kesejahteraan di Barat adalah karena populasi etnis minoritas yang tinggal di wilayah bagian Barat. Selain konflik etnis minoritas, seperti petani di bagian Barat sering diadu domba dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang bermotif karena pajak, biaya, termasuk isu kaum minoritas, yang sempat melawan kebijakan pemerintahan China, faktor lain yang menghambat dalam menarik investor besar di AS dan Eropa untuk menanam modal asing di bagian Barat adalah realita bahwa bagian Barat sangat tidak menguntungkan untuk berinvestasi. Meskipun proyek pembangunan sejak 1978 ini dinilai sangat ambisius, paling tidak pemerintah China telah berusaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di Bagian Barat China.

Studi Kasus: Pembangunan di Indonesia
Apabila dibandingkan dengan Indonesia, seperti pengembangan yang dilakukan di kawasan Timur Indonesia, bisa terbilang masih jauh dari pewujudan kawasan maju dan setara dalam akses ekonomi antar kawasan yang disebabkan perbedaan ritme pembangunan. Misalnya dilihat dari indikator ekonomi, tahun 2002, PDRB yang sebesar Rp. 101.452.359 juta masih belum dapat mencapai PDRB nasional sebesar 426.740.546 juta serta dari indikator sosial pada tahun yang sama menunjukkan rata-rata IPM sebesar 64,7 juga belum mendekati nilai rata-rata IPM secara nasional yang besarnya 65,8. Fakta-fakta diatas sangat ironis padahal wilayah Indonesia timur memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, seperti sumber kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi serta kehutanan. Contoh kekayaan alam di wilayah Timur misalnya minyak di Sulawesi Tengah, batu bara dan sejumlah barang tambang yang lain. Bahan dasa pembuatan semen juga ada di daerah Sulawesi Selatan (Tonasa). Kawasan Timur selama ini hanya sebagai penyedia barang saja, dan daerah Barat, khususnya di pulau Jawa menjadi tempat mengolah sehingga bagian Barat mendapatkan nilai tambah apalagi uang berputar lebih besar di daerah Jawa. Menurut Menteri Percepatan Daerah Tertinggal, Lukman Edy, selama tiga tahun pemerintahan SBY-JK (2004-2006), baru 28 daerah bebas ketertinggalan dari sekitar 199 daerah tertinggal. Kurangnya peningkatan pembangunan infrastruktur merupakan alasan utama dari ketertinggalan daerah Timur.

Hal yang membedakan antara pembangunan daerah tertinggal di Indonesia dengan daerah tertinggal di China adalah ketersediaan SDA yang melimpah di kawasan Timur Indonesia dibandingkan dengan wilayah Barat China. Namun, dari segi pengelolaan, pemerintah China sangat berusaha keras dalam mengusahakan infrastruktur untuk kemajuan wilayah Barat China. Contoh kebijakan pemerintahan Indonesia adalah kebijakan pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu serta kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan Kapet ini ditetapkan pada masa pemerintahan Orde Baru, pada dasarnya untuk meningkatkan investasi agar dapat memacu pertumbuhan regional. Kebijakan ini juga terkait dengan komitmen pemerintah dalam memberikan insetif untuk perbaikan infrastruktur, jasa pelayanan umum, investasi dan operasi usaha. Bentuk-bentuk yuridis formal Kapet adalah ditetapkannya Keppres Nomor 89 Tahun 1996 yang dalam pelaksanaannya menemukan banyak kendala dan kurangnya komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan ini. Bentuk Yuridis formal Jakstranas PPKTI dituangkan dalam Inpres Nomor 7 Tahun 2002.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: