Zaman modern telah betul-betul di mulai di Nusantara, ditandai dengan perubahan-perubahan ekonomi dan social serta gelora sastra dan filsafat dari periode kesultanan. Kesusastraan yang berkembang selama berabad-abad memunculkan suatu persepsi yang berbeda dimana didalamnya terdapat unsur-unsur sejarah, pesan-pesan tertentu, dan mengandung hukum-hukum normative di dalamnya. Kumpulan naskah yang pertama adalah teks-teks normative yang menguraikan aturan-aturan suatu masyarakat yang ideal, yang dapat disebut undang-undang, yang versi awalnya berasal dari pemerintahan Sultan Mahmud dari Malaka (1488-1511). Yang kedua, kumpulan teks yang bersifat metasifik, syair, atau tulisan berprosa yang mencerminkan pikiran-pikiran mengenai agama dan mengungkapkan krisis batin yang dialami oleh banyak orang. Dan yang ketiga adalah kumpulan teks yang melengkapi kedua kumpulan teks yang sudah disebutkan sebelumnya. Yang menjadi pokok pada kumpulan teks ini adalah akhlak, dimana berdasarkan dari tulisan-tulisan maupun karya sastra yang ada, pembaca atau pendengar dapat mengambil kandungan pesan dan hikmah yang mendidik.
Dalam bab ini, diungkapkan tiga hal yang krusial dalam pengaruh islam di Nusantara. Yang pertama adalah (a) Masyarakat Jenis baru, (b) Munculnya pengertian pribadi, dan (c) Perubahan konsep ruang dan waktu.
a) Masyarakat Jenis Baru
Munculnya wacana “masyarakat jenis baru” tentunya tidak terlepas dari terjadinya perubahan-perubahan social atau restukturisasi system-sistem pengabdian (yang pada umumnya disebut perbudakan) dan kemajuan pesat perekonomian. Dalam perekonomian, Lombard menunjukkan keunikan perkembangan sektor moneter yang dipengaruhi oleh peradaban-peradaban ataupun struktur social. Sebelum Eropa memberikan pengaruhnya, berawal pada zaman pertangahan sekitar abad ke-15 sampai 17 yang mengingatkan akan kuatnya jaringan perdagangan di Indonesia oleh pedagang-pedagang negeri seberang seperti peradaban India, Arab dan Cina yang memunculkan konteks sosial niaga. Pada permulaan abad ini terdapat suatu keanekaragaman sistem alat tukar yang sangat mencolok, Borneo cenderung menggunakan kerang kauri, sementara keramik cina sering digunakan di daerah timur. Keberagaman itu melalui sejarah panjang dan tahap-tahapnya disederhanakan oleh sistem alat tukar dengan menggunakan koin-koin tempaan logam yang di tandai dengan melimpahnya keberadaan kepeng Cina yang sangat melimpah di Indonesia pada saat itu. Dari masa itu cara emas tidak hanya dipergunakan sebagai bahan ekspor berupa serbuk dan batangan, tetapi lebih banyak ditempa menjadi uang-uang logam. Penggunaan logam emas, perak maupun peleburannya dengan perunggu sebagai mata uang di Nusantara telah lama melekat sebagai hasil penyerapan kebudayaan sehingga modernisasi mata uang kertas pecahan yang dibawa oleh sistem-sistem moneter barat tidak serta merta merubah kebiasaan tersebut dengan berbagai alasan, dan tidak terjadi pertentangan pada masa-masa kolonial, terbukti dengan bertahannya kepeng cina sebagai mata uang di bali sampai awal abad ke-20. Sampai Indonesia menjadi sebuah republikpun yang perputaran mata uangnya dipengaruhi kebijakan-kebijakan barat tidak menghilangkan kebiasaan logam ini pada setiap stuktur sosial masyarakatnya, dan membawa keunikan tersendiri bagi keungan di Indonesia saat ini.
b) Munculnya pengertian pribadi
Dengan munculnya kegiatan perekonomian yang melibatkan seluruh struktur masyarakat, orang dari berbagai macam latar belakang saling bertemu dan berbenturan, dan lambat laun berkembanglah sebuah konsep baru, yaitu konsep “individu” atau konsep “pribadi”. Pada waktu itu (sekitar abad ke-16) muncul dua konsep inti yang baru, dimana keduanya diambil dari kosa kata islam dan keduanya turut membentuk masyarakat jenis baru, yaitu konsep “keadilan” dan konsep “akal”. Dalam hal ini, yang diusahakan bukan lagi harmonisasi antara buana alit dan buana agung, yang teka-tekinya harus dipahami, tetapi keselarasan antar individu sebagai diri seorang, berdasarkan asas-asas suatu tatanan moral transeden yang jelas, yaitu asas-asas hukum islam. Berkembangnya islam turut mempengaruhi gaya arsitektur yang monumental di Jawa, dimana ideology “kesederhanaan” membuat kompleks-kompleks besar yang mencerminkan “keabadian” tidak lagi dibangun, makam terbuat dari batu, hingga istana dan mesjid dibuat seperti rumah biasa dari bahan yang mudah lapuk. Walaupun begitu, kesenian dan arsitektur tetaplah berkembang. Hal ini terlihat dari berkembangnya motif-motif ukir-ukiran kayu dan logam. Masyarakat pada masa ini sudah mulai mengerti akan nilai “seni” dan nilai “dagang”, sehingga mulai dari bangunan, alat-alat keperluan sehari-hari, hingga pakaian, dibuat dengan penuh cita rasa seni. Terlebih lagi dalam hal pakaian, sikap islam yang amat tertutup dalam perkara seksual menganjurkan agar seluruh bagian tubuh yang memalukan (aurat) tertutupi, sehingga pakaian diangkat prestisenya dan dijadikan hadiah.
c) Menuju Pemikiran Ruang Geografis dan Waktu Linier
Seperti juga pengertian tentang ruang, pengertian tentang waktu pun mengalami perubahan yang mendalam, tetapi perkembangan mengenai waktu ini berlangsung terbalik. Ruang cenderung menjadi lebih rumit sedangkan waktu menjadi cenderung sederhana. Sementara ruang ideal mandala menjadi pecah untuk diganti dengan kontur-kontur nyata suatu peta, waktu dari penanggalan penanggalan kuno yang beraneka ragam sifatnya menjadi cenderung lebih seragam. Adanya pemikiran geografis suatu wilayah pada masa itu dimulai dengan adanya system pemetaan kota hingga peletakan daerah-daerah vital. Dalam hal ini, pusat-pusat vital seperti pelabuhan atau Bandar (tempat barang dagang di bongkar muat) dan pasar (tempat dimana barang berpindah tangan) diletakkan di daerah yang dekat dengan akses air. Hal ini dimaksudkan agar pengangkutan dan pendistribusian dapat berjalan dengan mudah.
Di mana saja agama islam berakar, di setiap pantai dan kesultanan, asas tarikh islam diambil alih. Kemudian, perubahan penting lainnya adalah bahwa ibadah lima waktu untuk selanjutnya menentukan irama kehidupan sehari hari. Waktu yang dimasukan oleh islam bersifat “jaringan”, rasional, universal, dan waktu itu diwajibkan pada kawasan-kawasan agraris, yang tidak merasakan segera faedahnya. Akan tetapi perlu juga ditekankan beberapa segi positif revolusi penanggalan itu. Karena penanggalan baru memang meninggalkan sistem terdahulu dan memasukkan keteraturan tetap irama berbulan-bulan, dengan sendirinya tertanam pula prinsip homogenitas waktu.
Setelah islam masuk, homogenenaisasi itu tidak mutlak, dan masih ada variasi – waktu “kuat” atau sebaliknya yang memecahkan kemonotonan keseharian dan memberikan irama yang berbeda pada urutan hari-hari. Akan tetapi masih ada lagi selain homogenisasi waktu oleh penanggalan islam baru itu. Dengan mengemukakan asal mula dan akhir dunia, ideology islam berhasil memberi makna pada sejarah. Di sini kita temukan kembali gagasan mengenai waktu yang bergerak, waktu yang terarahkan, yang telah kita jumpai dalam halnya muncul konsep diri perorangan. Berhubungan erat dengan konsepsi baru tentang nasib manusia, dengan sendirinya berkembang konsepsi baru tentang masa lampau dan penulisan sejarah yang baru. Ada tanda mencolok yanag lain dari kesadaran historis yaitu berlipatgandanya silsilah, yaitu urutan-urutan panjang pergantian raja yang menempatkan generasi sekarang dalam hubungan dengan yang sudah lampau dan yang member wujud kepada gagasan tentang kelangsungan linier. Betapapun pentingnya silsilah pada periode terdahulu, tetap harus diakui pengaruh islam dalam peran utama yang diberikan kepada kekerabatan.
Stimulus Islam
7:56 PM |
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
stimulus islam itu apa? lebih ke definis tsb apa?
Post a Comment