RSS

Terorisme dan Hukum Humaniter Internasional

Peristiwa 11 september merupakan sebuah peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana dunia internasional dihadapkan pada suatu tantangan global, yatu aksi terorisme. Dalam hal ini, meskipun kombatan non-negara secara tak terelakkan merupakan bagian dari persamaan selama konflik bersenjata internal berlangsung, mereka hampir tidak memiliki tempat secara hukum dalam struktur konflik antarnegara. Sengketa hukum yang berlangsung, tentang tawanan yang terjadi di teluk Guantanamo menerangi bahwa betapa sulitnya untuk mendapatkan perbaikan di tempat aktor-aktor non-negara dalam hukum kemanusiaan konflik bersenjata internasional. Situasi dimana pembawa senjata merupakan suatu organisasi non-negara, dan melaksanakan permusuhan transnasional adalah merupakan prototipe yang diperiksa sebagai sebuah studi kasus hukum dalam perdebatan yang berlangsung pada masa setelah serangan tanggal 11 September. Sebelum memeriksa masalah yang menantang kerangka hukum humaniter internasional, artikel ini melihat adanya struktur dan mendiskusikan mengapa hal tersebut mungkin perlu diadaptasikan secara signifikan selama abad ke depan.
Hukum humaniter internasional merupakan tubuh dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan, khususnya pada saat konflik berlangsung. Dalam hukum humaniter internasional terdapat didalamnya keempat konvensi Jenewa 1949 dan dua protokol tambahan di tahun 1977 yang merupakan kunci instrumen hukum yang digunakan untuk menentukan hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan terhadap sipil maupun korban perang. Hal-hal tersebut adalah mengenai kejelasan status individu selama konflik bersenjata, bagaimana mendirikan perlindungan untuk mereka, dan mengidentifikasi tempat-tempat seperti rumah sakit dan zona keselamatan sipil untuk dilindungi dari serangan selama konflik berlangsung. IHL didirikan dalam suatu paradigma hukum yang membuat pembagian antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Ketentuan penuh dari konvensi jenewa intenational berlaku selama konflik bersenjata tersebut berlangsung. Seperti konflik yang melibatkan negara, dan angkatan bersenjata dimana secara hukum berwenang untuk terlibat dalam pertempuran bersenjata atas nama pemerintah mereka. Dalam hal ini sipil diharapkan untuk tetap berada di luar perkelahian atau konflik, dan sebagai imbalannya dilindungi dari serangan lain daripada ketika mereka memperluas bantuan langsung kepada upaya-upaya militer.

The International Committee of the Red Cross (ICRC) merupakan sebuah badan yang memiliki kewenangan untuk mengunjungi tawanan perang serta rakyat sipil yang ditahan oleh sebuah kekuatan musuh selama berlangsungnya konflik bersenjata internasional. Seperti halnya ICRC yang memeliki otoritas untuk menyediakan pertolongan kepada rakyat sipil yang berada dalam daerah konflik, organisasi humaniter lainnya juga memiliki otoritas yang sama untuk memberikan bantuan selama berlangsungnya konflik antarnegara.walaupun kewenangan atau otoritas yang dimiliki di dalam konflik bersenjata internal, tapi tetap adanya sebuah dasar hukum untuk ICRC dan organisasi humanitarian yang lain untuk tetap memberikan dan menyediakan bantuan dalam keadaan tersebut.

Kombatan yang terlibat dalam konflik antar negara dan permusuhan bersenjata, tidak berhak melindungi dari adanya serangan, dimana hal ini telah digambarkan dengan jelas dalam Konvensi Jenewa. Ada beberapa kelompok yang termasuk didalamnya pasukan bersenjata yang sudah terorganisir, bersama dengan milisi, pasukan relawan, dan gerakan-gerakan perlawanan yang sudah terorganisir yang dipimpin oleh orang-orang yang bertanggung jawab terhadap bawahannya dan menjalankan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan-kebiasaan berperang. Saat ditangkap, kombatan-kombatan ini merupakan bagian dari tawanan perang. Dapat dikatakan bahwa mereka-mereka ini bukanlah seorang narapidana, tapi keberadaan mereka ditahan adalah digunakan untuk menjaga mereka dari keberlanjutan suatu peran dalam permusuhan. Mereka bukanlah tawanan sipil, dan penahanan mereka bukan suatu bentuk hukuman, oleh karena itu, pihak yang menahan mereka tiak diperbolehkan untuk menganiaya mereka dan mereka berhak untuk mendapatkan bantuan dari ICRC dan organisasi humanitarian lainnya serta kekuatan yang melindungi mereka.

Para pembangkang yang melawan kekuasaan negara mereka sendiri, bertindak tanpa adanya status istimewa. Mereka tidak memiliki otoritas hukum untuk terlibat secara langsung dalam konflik antarnegara dan jika tertangkap, mereka bukanlah tawanan perang. Jika kita mencoba untuk mendefinisikan status aktor non-negara yang terlibat dalam serangan 11 September dan para pendukungnya, tetapi kami dengan cepat meninggalkan kerangka kerja yang ada di belakang dan usaha inti daerah hukum belum dipetakan.

Istilah untuk kombatan yang tidak sah sudah digunakan untuk mengidentifikasi anggota Al-Qaeda yang di tahan di Teluk Guantanamo, tapi istilah ini menggambarkan suatu konsep yang tidak cocok atau sesuai dengan peristiwa yang sedang berlangsung. “unlawful combatant” merupakan suatu terminologi yang diadopsi pada tahun 1942 oleh U.S. Supreme Court, untuk mendeskripsikan para pengkhianat Jerman yang diadili oleh komisi militer semasa perang dunia II. Istilah-istilah yang beragama inilah yang mewakili upaya untuk menangkap konsep hukum yang muncul, di abad kesembilan belas, dimana negara bertindak untuk mengontrol kategori-kategori kombatan yang aksinya diperbolehkan dibawah peraturan tentang perang.

Para pengkhianat, gerilyawan, dan mata-mata semua dilarang di bawah aturan-aturan perang dan setelah penangkapan, dikenakan eksekusi. Target mereka tidak perlu dilindungi. Pada kenyataannya, yang menjadi target mereka adalah instalasi militer, sarana dan prasarana, dan lainnya. Dalam hubungannya dengan terorisme, pertama-tama, teroris kemungkinan besar akan menargetkan kelompok atau situs yang dilindungi di bawah Hukum Humaniter Internasioanal. Kedua, mereka melakukannya tanpa kewenangan yang sah di bawah hukum internasional. Mereka bukan merupakan bagian dari angkatan bersenjata dari suatu negara, dan sering menyerang di masa damai bahkan ketika negara tidak punya alasan sah untuk menyerang sebuah situs militer atau objek lain.
Kaitannya dengan serangan 11 september 2001 adalah bahwa sudah terdapat konflik bersenjata, baik internal maupun internasional, dimana serangan-serangan ini tergolong suatu kejahatan perang. Selain itu aksi ini dilakukan oleh sebuah organisasi kehilangan otoritas hukum untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan terhadap siapa pun, dalam keadaan apapun. Selanjutnya, serangan itu ditujukan pada negara dan warga negara selain yang dikeluarkan oleh penyerang yang nantinya akan memindahkan mereka dari tempat manapun dalam rangka intenal konflik bersenjata. pada saat yang sama, serangan mengakibatkan kematian dan kehancuran pada skala yang selalu dikaitkan dengan perang di masa lalu, dan orang-orang di balik serangan ini dihadapkan pada sebuah ancaman keamanan dimensi bahwa pemerintah Amerika Serikat merasa perlu untuk menggunakan kekuatan militer sebagai tanggapan atas apa yang terjadi.

Tidak ada definisi yang disepakati secara universal untuk terorisme. Teroris seperti yang didefinisikan di sini adalah aktor-aktor non-negara yang kegiatannya, dan dalam waktu yang damai, akan memenuhi syarat sebagai permusuhan jika konflik bersenjata antarnegara yang sama dihubungkan dengan sebuah negara selama konflik bersenjata internasional, berpusat pada penargetan orang atau infrastrukur yang dilindungi. Sedangkan istilah “belligency” adalah suatu istilah yang dulu pernah menggambarkan suatu keadaan dimana terjadinya permusuhan bersenjata antara bangsa-bangsa.

Selama abad kedelapanbelas dan kesembilan belas, angkatan laut Amerika Serikat dan Inggris meluncurkan berbagai ekspedisi militer terhadap bajak laut, yang mengajukan ancaman bersenjata seperti yang hanya dimensi strategi militer yang dapat mengalahkan mereka. Ketika ditangkap, para bajak laut ini tidak diperlakukan sebagai tawanan perang melainkan diserahkan kepada otoritas sipil untuk diadili dan dihukum. Ketidakcocokan antara karakteristik kelompok-kelompok seperti itu dan adanya IHL memberikan tantangan hukum utama. Tidak ada negara yang dapat mengklaim bahwa operasi militer itu pernah terjadi. Dalam beberapa bentuk, peraturan ini berlaku untuk setiap penggunaan kekuatan militer.

Perdebatan mengenai nasib tawanan perang, konvensi genewa akan menuntut pembebasan mereka pada akhir konflik. konvensi juga akan menetapkan bahwa tawanan tidak memiliki kewajiban untuk mengungkapkan sesuatu yang melebihi nama mereka, pangkat, tanggal lahir, dan nomor seri militer mereka. asumsi tersebut meningkatkan pertanyaan-pertanyaan sulit, dan mungkin sulit untuk diterapkan, bahkan dengan analogi, ketika tawanan adalah pihak yang tidak sah dalam berperang. pemulangan tawanan perang di bawah konvensi jenewa menyiratkan bahwa negara lain menjamin untuk berperilaku damai kedepannya. Tapi, yang menjadi kritik disini adalah bagaimana jika tawanan perang tersebut merupakan bagian dari skenario yang terorganisir, dimana adanya konspirasi kriminal yang didedikasikan untuk pembunuhan massal.

Di tengah-tengah keragu-raguan tersebut, negara tidak bisa melupakan kewajiban mereka untuk menerapkan norma-norma beradab dalam perlakuan mereka terhadap semua tawanan. ICRC mengunjungi pusat penahanan di Teluk Guantanamo yang merupakan komponen penting dari setiap konflik yang berkaitan dengan norma-norma kemanusiaan. Namun proses pelaksanaan norma-norma seperti itu baru saja dimulai. Setiap pihak yang berkonflik, dimana negara-negara mengangkat senjata mereka untuk saling menyerang satu sama lain, mereka harus tetap ingat akan kewajiban mereka untuk membentuk kerangka kerja yang efektif untuk penerapan hukum humaniter internasional agar tidak jatuhnya korban-korban yang tidak ada sangkut pautnya terhadap konflik tersebut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: