RSS

Theories of International Relations, Chapter 8 – Constructivism, Christian Reus-Smit

Pasca Perang Dingin adalah tahapan dimana perbincangan mengenai transformasi teori hubungan internasional di Amerika mulai mencapai titik temu, dengan munculnya pemahaman konstruktivisme. Konstruktivisme muncul sebagai tanggapan atas kegagalan realisme dan liberalisme dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional. Penekanan konstruktivisme ditujukan pada empirical analysis, dimana memiliki kecenderungan untuk menjelaskan dinamika politik internasional dengan menggunakan konsep ataupun teori. Kemunculan konstruktivisme didukung oleh situasi yang menginginkan penjelasan kembali mengenai konsepsi teori dan politik internasional, dan menjadikan pemikiran dan pengetahuan sebagai alat untuk menganalisis fenomena hubungan internasional. Selain itu, situasi pasca Perang Dingin menjadikan pemahaman mengenai neo-realisme dan neo-liberalisme mengalami kemunduran yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menjelaskan dengan komprehensif fenomena transformasi yang muncul di tengah tuntutan global. Perkembangan konstruktivisme juga didukung oleh situasi dimana di awal tahun 1990-an, muncul beragam akademisi yang menginovasikan penggunaan konsep dan pemahaman empiris untuk pengembangan teori. Akademisi-akademisi tersebut kemudian memanfaatkan situasi kegagalan teori rasionalisme, sehingga memunculkan pandangan baru dimana lebih mementingkan perbincangan teoritis.

Konstruktivisme dibentuk dan dikembangkan oleh tiga proposisi ontologis dalam kehidupan sosial. Pertama, struktur yang digunakan untuk membentuk tindakan aktor sosial dan politik, baik individu maupun negara, terdiri atas aspek normatif dan ideasional, dan tidak hanya memiliki aspek material. Asumsi pemahaman konstruktivisme adalah ide-ide yang disebarluaskan (shared ideas), keyakinan, dan nilai memiliki karakteristik struktural dan turut menentukan tindakan sosial dan politik. Pemahaman tersebut meyakini bahwa sumber-sumber material hanya dapat digunakan bagi tindakan melalui struktur pengetahuan bersama. Kedua, konstruktivisme meyakini bahwa identitas aktor-aktor politik bersifat penting, disebabkan identitas tersebut menggambarkan kepentingan dan tindakan yang dilakukan. Pemahaman konstruktivisme, dalam hal ini, lebih mengutamakan sumber-sumber kepentingan yang berkenaan dengan proses pengembangan kepentingan tersebut, sehingga dalam menjelaskan formasi kepentingannya, konstruktivisme memiliki spesialisasi pada identitas sosial individu dan state. Ketiga, agen dan struktur saling menentukan satu sama lain (mutually constituted), sehingga struktur normatif dan ideasional turut ditentukan oleh identitas dan kepentingan aktor-aktor politik.

Ditinjau oleh disiplin ilmu, kontruktivisme memiliki perbedaan mencolok dengan rasionalisme. Rasionalisme meyakini adanya tindakan egois yang dilakukan oleh aktor-aktor politik, sedangkan konstruktivisme berasumsi bahwa aktor-aktor politik tersebut bersifat sosial dengan segala identitas yang diatur oleh norma, nilai, dan ide dalam lingkungan sosial. Perbedaan lain dengan rasionalisme adalah konstruktivisme menganggap kepentingan sebagai endogenous yang menghasilkan interaksi, seiring dengan dilakukan proses komunikasi, pengalaman, dan penetapan peranan. Selain itu, rasionalisme memandang kelompok masyarakat sebagai bidang strategis, sedangkan konstruktivisme memandang kelompok masyarakat tersebut sebagai bidang konstitutif, dimana menempatkan aktor-aktor tersebut sebagai agen sosial dan politik yang memiliki ilmu pengetahuan.

Di tahun 1990-an, konstruktivisme mengalami perkembangan melalui tiga bentuk, yakni konstruktivisme sistemik, level unit, dan holistik. Konstruktivisme sistemik lebih memfokuskan diri pada interaksi di tingkat negara dan mengabaikan proses dalam bidang politik domestik. Konstruktivisme level unit, adalah kebalikan konstrukvisme sistemik, dimana lebih memfokuskan diri pada hubungan sosial domestik dengan norma-norma legal bagi identitas dan kepentingan negara. Sedangkan, konstruktivisme holisitik memiliki peranan sebagai ‘jembatan’ bagi konstruktivisme sistemik dan level unit. Bentuk konstruktivisme tersebut memandang politik domestik dan internasional sebagai aspek yang memiliki perbedaan di dalam kesatuan tatanan sosial dan politik. Konstruktivisme holistik juga memiliki keunggulan dalam menjelaskan perkembangan struktur normatif dan ideasional di dalam sistem internasional. Adanya perhatian bagi transformasi-transformasi yang bersifat global, mengimplikasikan bentuk konstruktivisme tersebut cenderung strukturalis dan meninggalkan human agency.
Perkembangan konstruktivisme hadir menggantikan perbincangan mengenai rasionalisme dengan teori kritis, dimana memfokuskan diri pada perbincangan mengenai ontologis dan isu-isu empiris. Konstruktivisme memandang adanya kemampuan teori kritis dalam menjelaskan fenomena politik internasional untuk menghadapi pemahaman neo-realisme dan neo-liberalisme. Pandangan bagi teori kritis tersebut juga ditunjukkan dengan pengembangan metodologi konstruktivisme yang cenderung menolak pandangan positivisme. Di sisi lain, konstruktivisme memiliki perbedaan dengan teori kritis, dimana konstruktivis lebih mengutamakan empirical analysis dalam mengembangkan pemahaman konsep dan teori untuk menganalisis fenomena politik internasional, dibandingkan teori kritis yang menggunakan tingkatan meta-teori.
Pasca tragedi 9/11, konstruktivisme ditunjukkan oleh situasi dimana Amerika Serikat (AS) menggunakan identitas negaranya sebagai basis kepentingan nasional. Dalam hal ini, identitas AS sebagai negara superpower menjadi dalih untuk menciptakan keamanan dunia dengan membuat kebijakan ‘perang melawan terorisme’. Perlawanan untuk terorisme tersebut ditunjukkan dengan upaya AS menciptakan kekuasaan di kawasan Timur Tengah, dimana salah satu upayanya adalah turut campur dalam kegiatan pemusnahan senjata pembunuh massal. Konstruktivisme ditunjukkan dengan adanya rekonstruksi kepentingan nasional AS dalam menciptakan kekuasaan di kawasan lain, namun menggunakan dalih ‘perang melawan terorisme’ karena identitasnya sebagai negara superpower.

Selain sebagai alternatif dalam memandang fenomena hubungan internasional, konstruktivisme juga memiliki kekurangan, khususnya dalam hal kekuasaan. Dicontohkan oleh tindakan AS yang merekonstruksikan kepentingan nasional dengan dalih ‘perang melawan terorisme’, dimana konstruktivisme memiliki kecenderungan menjadi ‘jalan’ untuk menciptakan keamanan dunia yang semu, karena diciptakan atas konstruksi manusia, dan tanpa disadari manusia memiliki identitas yang beragam, dimana identitas tersebut turut mempengaruhi pembentukan kepentingan dan tindakan. Situasi tersebut menunjukkan bahwa konstruktivisme tidak dapat menjelaskan dengan komprehensif, dasar pemikiran manusia yang merekonstruksikan identitas, kepentingan, dan tindakan. Keterbatasan tersebut juga berimbas pada keterbatasan konstruktivisme dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional, mengingat fenomena tersebut memiliki kompleksitas yang tinggi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: